Jakarta, Katafakta.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) akan segera menunjuk tim jaksa peneliti untuk menangani berkas kasus penistaan agama, dengan tersangka pimpinan Ponpes Al Zaytun Panji Gumilang.
Langkah ini merupakan tindak lanjut setelah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung menerima surat pemberitahuan penetapan tersangka atas nama Panji Gumilang dari Bareskrim Polri.
“Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung telah menerima surat pemberitahuan penetapan tersangka Nomor: B/59.a/ VIII/RES.1.1.1/2023/ Dittipidum tanggal 1 Agustus 2023, dari Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri) terhadap Tersangka APG,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis pada Sabtu (5/8/2023).
Ketut mengatakan tim jaksa peneliti nantinya akan mempelajari berkas perkara. Tim jaksa peneliti, sambung Ketut, juga akan memberikan petunjuk perihal kelengkapan berkas kepada kepolisian.
“Selanjutnya, Jampidum akan menunjuk tim jaksa peneliti (jaksa P-16) dalam penanganan perkara dan akan mempelajari berkas perkara yang diterima serta memberikan petunjuk lengkap atau tidaknya berkas perkara,” ujar Ketut.
Ketut menerangkan, berdasarkan pemberitahuan dari Bareskrim Polri, Panji Gumilang ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar Pasal 156a huruf a KUHP dan atau Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 45a Ayat (2) juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Dugaan tindak pidana dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; dan/atau menyiarkan berita atau pemberitaan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dan/atau dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu,” jelas Ketut.
“Dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), yang terjadi di Pondok Pesantren Al-Zaytun Indramayu, Jawa Barat serta di daerah lain di wilayah hukum Republik Indonesia,” pungkas Ketut.