PALEMBANG, LENSASRIWJAYA.COM – Sejak munculnya berita di media tentang akan berlakunya pajak restoran 10% untuk pecel lele, nasi bungkus dan pempek membuat para pelaku kuliner menderita, hal ini terjadi sejak Bulan Juli 2019.
KA Humas Forum Komunikasi Pelaku Kuliner Bersatu Palembang, Sumatera Selatan, (FK PKBP SS), BW Prayoga ( Bima Sakti ) mengatakan, bahwa dari beberapa hari setelah adanya isu pengenaan pajak restoran 10 % sekitar seminggu kemudian para pelaku kuliner mengaku omsetnya langsung turun sampai 30 % – 50%,” ujarnya saat ditemui disalah satu resto, Jumat (20/3/2020) malam.
Dikatakan BW Prayoga, sejak bulan Juli 2019 sampai bulan Oktober 2019 omset para pelaku kuliner mulai turun naik. Begitu masuk bulan November 2019 omset kembali turun dratis, karena saat itu mulai musim buah-buahan, ini diakibatkan perilaku dari konsumen kuliner jika musim buah mereka berganti banyak mengeluarkan duitnya untuk membeli buah-buahan terutama duren, cempedak, nangka dan lainya.
Bw Prayoga menjelaskan, kemudian di bulan Februari omset semakin turun, lantaran ada isu kembali bahwa pajak restoran 10% yang akan disahkan oleh DPRD Kota Palembang. Ini kelihatannya sepele kalau mereka selalu bilang bahwa pengenaan pajak restoran 10% ini bukan untuk pelaku kuliner tetapi untuk konsumen,” tegasnya.
Diketahui, Bahwa permasalahan disini perbedaan persepsi antara pihak Pemkot Palembang dan pelaku kuliner tidak nyambung, karena Pemkot selalu bilang ini pajak diambil dari konsumen tetapi tolong pelaku kuliner memungut dari pihak konsumen.
Prayoga menambahkan, bahwa pelaku kuliner ini tidak pernah menaikkan harga sampai 10% melainkan rata-rata menaikan harga maksimal di angka 5% , kalau lebih dari 5% otomatis dari prilaku konsumen itu, tentunya konsumen akan mencari yang lebih murah, lebih banyak dan juga enak. Karena jika langsung diperlakukan kenaikan 10% otomatis konsumen akan berlari ketempat yang lain yang tidak memberlakukan pajak 10%,” sesalnya.
Karena kenyataannya di lapangan pajak restoran 10% ini tidak dilakukan secara menyeluruh apalagi dengan pemasangan e tax itu sudah luar biasa dampaknya, dan beberapa hari ini beliau sidak kelapangan dan meminta pelaku kuliner mengirim foto keadaan warungnya via WhatsApp,” katanya.
“Saya sengaja meminta mereka untuk mengirim foto-foto keadaan warung-warungnya dalam tiga hari ini, sejak pemkot Palembang meliburkan pelajar, dan mahasiswa, sungguh sangat luar biasa sepinya warung ini, bahkan ada yang sampai bilang omset itu sampai turun ke 70% dari omzet 1 juta perhari mereka hari ini jadi cuman dapat duit sekitar Rp. 300.000 berarti kan ini sangat luar biasa turunnya,” jelasnya.
Lebih lanjut BW Prayoga Mengatakan, bahwa saat-saat seperti inilah seharusnya pemerintah harus perhatian karena kondisi ekonomi makro secara menyeluruh sudah turun. Seharusnya pemerintah memberikan semacam insentif atau istilahnya bantuan lah atau dispensasi ke pelaku kuliner ini agar usaha mereka bisa stabil kembali.
Untuk tahap selanjutnya kalau mau diperlakukan pajak 5% atau 10% nanti kita bicarakan lagi, tetapi yang jelas keadaan sekarang itu luar biasa, dalam 9 bulan ini omset mereka benar-benar turun ini bukan lagi sekadar turun malah sudah cenderung merugi.
Ditempat yang sama, Prayoga menegaskan, seharusnya pemkot Palembang , apalagi program pusat lewat menteri keuangan juga sudah memberi dispensasi tidak melakukan pajak restoran selama 6 bulan, dam kemudian presiden Pak Jokowi juga sudah menganjurkan untuk memberi perhatian khusus kelangsungan UMKM ini. Pihaknya juga sangat menyesalkan jika Pemkot Palembang ini, yang masih tetap akan menerapkan pajak restoran 5% dan dan pajak 10%,” imbuhnya.
Kemudian pihak BPPD Palembang dan UPTD seharusnya menahan diri dulu jangan terlalu masif datang ke warung2, karena dalam kondisi seperti ini pelaku kuliner merasa tidak nyaman dalam beraktifitas jika terlalu di pressure.
“Jadi intinya Pemkot Palembang terutama dinas BPPD tolong kerjasamanya kalau pelaku kuliner dianggap sebagai mitra seharusnya inilah kesempatan kalian membina dan membantu pelaku kuliner jangan saat mereka sakit, merintis usaha dari bawah, berjuang susah payah dengan modal sendiri, di saat mereka baru mulai bangkit sudah di resahkan dengan penerapan pajak restoran,” tutupnya.(Del)