KH Syukron Ma’mun : Pemerintah Harus Adil, Riil dan Transparan Dalam Penanganan Pandemi Covid-19

  • Bagikan

JAKARTA, KATAFAKTA.COM – Dalam menghadapi pandemi itu, kita tetap mematuhi protokol kesehatan (prokes) sebaik-baiknya, kalau kita sudah menjalankan prokes, kita bertawakal kepada Allah SWT. Kita ini takut sama corona, tapi lebih takut kepada Allah, jangan dibalik.

Berikut petikan wawancara khusus dengan KH Syukron Ma’mun, Pemimpin Pondok Pesantren Daarul Rahman terkait kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 ini, kepada Katafakta.com, Sabtu (7/8/21) di Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Apa tanggapan kyai dengan beberapa kebijakan pemerintah terkait corona?

Bagi saya, dalam menghadapi pandemi ini, protokol kesehatan dijaga sebaik-baiknya, tapi jangan “menggunting” perintah Allah. Jangan menutup masjid. Masjid diatur secara prokes, kalau yang lain bisa diatur secara prokes, kenapa masjid tidak. Contoh, naik kereta api diatur secara prokes. Kalau mau tutup, tutup semua yang adil. Kereta api tutup, penerbangan ditutup, masjid ditutup, jangan ada perbedaan. Itu harapan saya. Kita tahu sendiri, naik pesawat bisa diatur, dimana penumpangnya lebih dari 160 orang, malah kumpul sampai dua jam, tapi bisa diatur. Padahal Jum’atan hanya 30 menit, seharusnya juga kan bisa diatur secara prokes. Kasih masjid swab, positif jangan masuk, negatif boleh Jum’atan. Kenapa tidak diatur?.

Mengapa orang ziarah kubur tidak diatur?

Kalau menurut saya seandainya, ziarah kubur dihari lebaran bisa diatur, misal hari H-nya pagi ziarah kubur untuk Blok A, ba’da Zhuhur Blok B, begitu seterusnya, sampai tujuh Syawal, kan tidak ngumpul. Agama terjamin, rakyat tidak kecewa dan merasa puas, sebab ziarah kubur ibadah, adat umat Islam. Ini bisa diatur untuk semua lokasi pemakaman, baik di kota maupun di kampung dimana bisa diatur per-RT, aparat setempat bisa mengatur itu.

Terkait tradisi mudik juga yang dilarang pemerintah?

Bagi saya, tradisi mudik juga jangan dilarang, mudik itu ibadat, adat istiadat. Kalau ada orang yang bicara, jangan mudik sekarang, tahun depan. Kalau tahun depan kakeknya masih hidup, kalau mati, siapa yang tahu umur?. Jadi tradisi mudik itu atur, jangan dilarang. Contoh lagi kalau diatur, tanggal 16 – 20 Ramadhan (5 hari) pelaksanaan mudik untuk Jawa Timur, kemudian dari tanggal 21 – 25 Ramadhan untuk daerah Jawa Tengah, lalu untuk tanggal 26 Ramadhan sampai lebaran untuk Jawa Barat. Begitupun untuk balik lagi, diatur. Jaga ketat, ketika pemudik Jawa Timur pulang, tidak pintu-pintu yang dibuka untuk Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tidak berkerumun, rakyat lega, kerumunan akibat kepadatan di tol tidak ada, tidak ada check point yang jebol. Tapi kalau diatur tidak akan terjadi kerumunan.

Banyaknya larangan yang di buat pemerintah terkait dimasa pandemi, bagaimana pendapat kyai?

Yang saya kurang setuju pemerintah main larang, tapi tidak coba untuk mengatur. Saya maunya diatur. Kalau perlu pemerintah yang punya anggaran Rp 1000 triliun, belikan alat swab untuk masjid, di swab tiap masjid. Mari kita yang obyektif dan adil. Bagaimana rakyat itu tidak berpikir negatif, sasaran masjid, kebun binatang dibuka, mall dibuka, pasar tradisional di buka seperti biasa.

Kenapa pemerintah tidak melakukan lockdown?

Sebenarnya kalau pemerintah mau konsekuen untuk lockdown. Tidak perlu pemerintah buat istilah PSBB, PPKM ataupun istilah lain. Bangsa Indonesia, penduduknya 260 juta orang, biaya lockdown Rp 1.000 triliun lebih, kalau setiap orang Rp1 juta, bikin lockdown 1 bulan, jangan setengah bulan, pemerintah hanya keluar uang Rp 260 triliun, sisanya masih banyak. Tidak kaya atau miskin, kasih semua masing-masing Rp 1 juta, berarti cuma Rp 260 triliun. Lockdown dirumah, keluar tembak mati. Mereka akan bersyukur dirumah, kalau dalam satu keluarga ada 2 orang berarti dapat Rp 2 juta, 5 orang Rp 5 juta. Tapi saat ini, orang disuruh dirumah, nanti dapat bantuan sosial, laparnya kapan, sekarang kan?. Bantuannya kapan?. Itu di cicil lagi.

Setuju mana bansos yang diberikan kepada rakyat, bansos bentuk sembako atau uang?

Kalau bagi saya, pemerintah itu bantu masyarakat tidak usah sembako, sembako hanya membuka pintu korupsi. Contoh, seandainya Sukron Ma’mun petugas, saya undang orang saya, kau bikin PT abal-abal, urusin beras, kau bikin PT yang urusin minyak, begitupun selanjutnya. Bila dalam satu paket sembako 5 macam, ada 5 PT yang berperan disitu, belum lagi untuk bungkusnya, padahal bungkusnya ga ada gunanya, buat apa?. Kenapa tidak masyarakat di kasih uang kontan, tertutup korupsi, dengan sembako, ada peluang. Saya cinta sama pemerintah, kita bicara yang obyektif lah, ini rill. Disuruh dirumah, kasih makan dong, kasih dulu bahannya baru dirumah, jangan disuruh dirumah, tapi bantuannya nanti. Nanti kan berproses dong, berapa banyak yang terlambat dapat bantuan (sembako), apalagi yang tidak dapat, pasti rakyat menganggap negatif pemerintah.

Banyak rakyat menganggap negatif kepada pemerintah, benarkah?

Bagaimana, pemerintah tidak dianggap negatif oleh rakyat. Kalau seandainya pemerintah umumkan, setiap orang mendapatkan 1 juta, setelah semuanya, siapa yang belum dapat segera lapor, sudah dapat semua atau belum. Setelah itu 3 hari, rakyat akan belanja, pasar laku, segala kebutuhan sembako beli di pasar otomatis pertumbuhan ekonomi akan berjalan dibawah, rakyat tidak dirugikan, karena walaupun tidak jualan 1 bulan sudah diborong untuk 1 bulan. Perusahaan pun tidak akan dirugikan, sebab buruh pabrik tidak usah dibayar, mengapa? karena sudah dibayar pemerintah. Sekarang ini pabrik merasa dirugikan, pihaknya bayar buruh, tapi buruh tidak kerja, kan rugi.

Kenapa pemerintah tidak berbuat hal seperti ini?

Ini riil, rasional, rakyat kecil akan gembira dengan lockdown, bagaimana tidak, yang biasanya mengojek ataupun pekerja buruh, dia akan istirahat dirumah dengan hati tenang, bahagia dan nyaman, mereka akan diam dirumah, karena perut mereka kenyang dirumah, yang artinya, pemerintah dapat mengalokasikan anggaran yang Rp 1.000 triliun ini untuk kepentingan rakyat.

Apakah kyai ada rasa curiga terkait anggaran besar untuk penanganan Covid-19?

Saya tidak curiga, jika uang yang Rp 1.000 triliun ini kemana, kita hanya ingin tahu saja. Insya Allah pemerintah jujur, kemana anggaran yang Rp 1.000 triliun? mana yang bisa dirasakan oleh rakyat.

Apakah pemerintah kurang komunikasi dengan ulama dalam rangka penanganan pandemi?

Seharusnya, selain ulama-ulama struktural, pemerintah panggil pemikir-pemikir rakyat ini, tokoh-tokoh agama yang non struktural, tokoh-tokoh masyarakat diambil pendapatnya dulu, baru pemerintah keluarkan kebijaksanaan. Jangan kebijaksanaan setelah datang dari tokoh-tokoh struktural, tapi juga libatkan tokoh-tokoh non struktural. Memang sudah ada kebijakan dari tokoh yang struktural, panggil tokoh-tokoh yang non struktural yang banyak pikiran bersihnya yang tidak ada kedudukan dan jabatan, pasti Insya Allah pikirannya bersih.

Apabila pemerintah minta pendapat kai, apa yang akan kyai sampaikan?

Seandainya minta pendapat dari saya, saya akan bilang sama pemerintah, kasih tiap orang Rp 1 juta, lockdown 1 bulan dan sisanya yang lain, dapat gunakan untuk beli vaksin, untuk beli obat, paling habis Rp 100 triliun dan yang lainnya untuk bikin pabrik demi ekonomi rakyat. Kenapa kok Rp 1.000 triliun tidak mampu untuk lockdown.

Mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB maupun PPKM?

Pemerintah hanya menghindari lockdown, sebab kalau lockdown, undang-undang karantina pasti berlaku, memenuhi hajat orang banyak, termasuk binatangnya. Untuk menghindari ini, PSBB tidak kena lockdown, kebijakan PPKM, tidak kena lockdown, walaupun sebenarnya sudah lockdown, jadi dengan ini sifatnya pemerintah hanya membantu, tidak memenuhi kebutuhan hidup orang banyak. Pemerintah tidak terpikir, tidak memikirkan rakyat yang kerja hari ini, dimakan hari ini, tidak kerja tidak makan dia, seperti kuli bangunan, tukang ojek. Bansos yang digelontorkan pemerintah kan butuh proses, padahal rakyat yang lapar hari ini, pemerintah hanya bilang nanti dibantu. Mestinya bukan nanti, ini sembakonya, bawa masuk dalam rumah, kalau belum habis kasih lagi sembako, kalau terpaksa kasih sembako. Tapi lebih baik duit kontan, karena duit kontan tidak akan membukakan pintu pada pejabat yang akan “nyolong”, bahasa halusnya korupsi. Tapi saya tidak setuju bahasa korupsi, tapi nyolong. Kalau uang kontan, rakyat gembira.

Apakah saat ini kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, berdasarkan kekuasaan?

Hendaknya, pemerintah itu segala sesuatu diatur, jangan berbentuk larangan, karena bentuk larangan akan mengarah kekuasaan. Saya minta jangan berdasarkan itu, kalau pesawat mau terbang ke Surabaya bisa diatur dengan kebijakan pemerintah?, kenapa masjid ga bisa diatur?. Orang bisa ngomong, kenapa kok peraturan sasarannya masjid?.

Bagaimana peran serta ulama atau tokoh agama dalam menyikapi pandemi?

Pemerintah sudah menyampaikan secara formil kepada ulama agar taati prokes, pakai masker, jaga jarak dan ulama ikut mensosialisasikan protokol kesehatan.

Apakah selama ini kyai sudah. dimintakan pendapat?

Kepada saya tidak, tidak tahu kalau kiai strukturalnya. Ketika Menteri Agama kesini, (Pesantren Daarul Rahman, red) Yaqut Cholil Qoumas, saya pesan sama Menteri Agama, tolong pak menteri, kalau anda mau bikin kebijaksanaan, jangan hanya mengumpulkan ulama struktural, ulama struktural penting, tapi Menteri Agama cari ulama-ulama di kampung yang pikirnya masih bersih, tidak terkontaminasi dengan jabatan, dengan duit, minta pendapat mereka, baru bikin kebijaksanaan.

Apakah pemerintah gagal menangani program ekonomi dimasa pandemi?

Saya menganggap program ekonomi rakyat dalam penanganan pandemi oleh pemerintah, belum maksimal. Undang saya, persilahkan pemerintah pinjam uang ke luar negeri, pinjam Rp 260 triliun, dan langsung berikan untuk rakyat. Kita mulai dari awal lagi penanganan ini.

Bicara agama, bagaimana sebenarnya pandemi ini?

Bicara secara agama, kalau pandemi ini dianggap sebagai musibah, ujian dari Allah, apalagi azab, ada syaratnya, tidak langsung ujug-ujug berdoa begitu. Syaratnya ada tiga poin, pertama ulamanya koreksi (Muhasabah), apa benar ulama ber-fatwa sesuai dengan pesan Al-Qur’an dan sunah Nabinya, atau ulamanya ber-fatwa mengikuti pesan sponsor, atau karena jabatan kedudukan dan harta. Ulamanya koreksi dulu, setelah koreksi, tobat pada Allah.
Kedua, pemerintahnya juga tobat, kalau corona itu dianggap peringatan atau azab dari Allah, pejabatnya dari RT sampai presidennya juga tobat. Koreksi, benarkah anda menjalankan pemerintahan secara jujur, tanpa kebohongan, benarkan anda menjalankan pemerintahan ini secara amanah, tidak berkhianat?. Apakah anda menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyatnya, atau untuk kepentingan kelompok lain atau negay lain? Koreksi diri, tobat.
Ketiga, rakyat semuanya tobat, benarkah rakyat menjalankan perintah agamanya?

Jadi intinya bagaimana pak kyai?

Intinya, ulamanya tobat, pejabatnya tobat, rakyatnya tobat, baru istighfar kepada Allah, mudah-mudahan corona ini cepat diangkat oleh Allah.

Penulis : Is. Idris
Sumber : KH Syukron Ma’mun, Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *