PALEMBANG, Katafakta.com – Komite Masyarakat Peduli Pembangunan Lingkungan (KLMPL) Sumatera Selatan (Sumsel) menggelar konferensi pers terkait Hutan Harapan membentang di dua kabupaten dalam Provinsi Jambi, yakni Sarolangun dan Batanghari, dan di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumsel, bertempat di salah satu restoran yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Kecamatan Ilir Timur 1, Palembang, Sabtu (20/3/2021).
“Hutan Haparan ini dulunya dulunya kawasan adalah Hutan Produksi PT Asialog dan Inhutani. Izin pengelolaannya diberikan kepada Unit Manajemen Hutan Harapan bentukan Burung Indonesia, Birdlife International dan Royal Society for the Protection of Birds,” ujar Koordinator KMPPL Sumsel Chandra Anugrah saat ditemui di lokasi.
Chandra mengatakan, izin pertama didapat pada tahun 2007 lalu, yakni untuk kawasan seluas 52.170 hektare di Kabupaten Musi Banyuasin (SK Menhut No 293/Menhut-II/2007). Izin kedua keluar pada 2010 untuk areal seluas 46.385 hektare di Kabupaten Batanghari dan Sarolangun (SK Menhut No 327/Menhut-II/2010).
Total luas izin konsesi 98.554 hektare. Hutan Harapan merupakan sumber serta areal resapan air (water catchment area) penting bagi masyarakat Jambi dan Sumsel. Sungai Batang Kapas dan Sungai Meranti adalah hulu Sungai Musi yang mengalir melalui Sungai Batanghari Leko.
“Sungai ini adalah sumber kehidupan utama masyarakat Sumsel, baik untuk air bersih, perikanan, pertanian, perkebunan maupun sarana transportasi,” jelas Chandra.
Pemerintah lewat Kemenhut telah mengatur proses pengkukuhan kawasan hutan lewat berbagai aturan, diantaranya Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut nomor P.47/2010 tentang Panitia Tata Batas dan Permenhut P.50/Menhut‐ II/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
Chandra menuturkan, namun ketiga peraturan ini dinilai masih memiliki kelemahan. Terkadang suatu kawasan hutan negara baru merupakan penunjukkan tetapi telah diterbitkan izin bagi konsesi, padahal seharusnya baru pada tahap penetapan hutan itu memiliki kekuatan hukum dan baru dikatakan sebagai hutan negara.
Di tingkat lapangan batas yang berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara.Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan, yakni seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.
Proses ini semua adalah untuk menuju suatu kawasan hutan yang “legal dan legitimate”. Dalam hal ini, menjadi penting apakah perizinan dari negara yang dikantungi sebuah perusahaan berstatus hutan produksi atau hutan konservasi.
“Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK.159/Menhut-II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan hutan produksi, pengelola Hutan Harapan, mengantongi izin pengelolaan hutan produksi melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE),” ungkapnya.
Pemberian izin ini merupakan upaya pemerintah untuk mengembalikan areal hutan produksi yang telah rusak menjadi seimbang keadaan hayatinya. Dengan mengantungi IUPHHK-RE, artinya perusahaan berada di dalam hutan produksi. Ini berarti lahan di kawasan itu juga boleh dimanfaatkan maksimal 10% untuk peruntukan lainnya (termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan).
Chandra manambahkan, singkat cerita perusahaan wajib melakukan restorasi. Dan ini tidak berarti setelah hutan selesai direstorasi selanjutnya menjadi hutan belaka. Setelah kewajiban restorasi dilaksanakan, status kawasan tersebut tetap hutan produksi. Bukan hutan konservasi.
“Pemerintah Indonesia mengalokasikan sekitar 1,79 juta ha kawasan hutan produksi untuk kegiatan Restorasi Ekosistem, dan sekitar 558.185 ribu hektar hutan produksi telah dikelola melalui IUPHHK-RE,” bebernya.
Termasuk di dalamnya Hutan Harapan yang terbentang di Provinsi Sumsel dan Jambi seluas 98.554 ha. Dalam semangat restorasi, upaya pemerintah Indonesia harus dilihat dalam satu kesatuan yang utuh dan lengkap. Melalui IUPHHK-RE, Indonesia memiliki lebih dari 33.000 desa hutan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi serta ketahanan pangan dan energi dalam negeri.
“Hutan produksi memang diharapkan bisa meningkatkan potensi sumber daya alam. Tentu dengan mempertimbangkan potensi keanekaragaman hayati, sosial dan ekonomi,” imbuhnya.
Bila itu terwujud, masyarakat di sekitar hutan menjadi lebih sejahtera. Ini ujung- ujungnya akan menciptakan kemandirian masyarakat dalam berbagai aspek, khususnya aspek pelestarian alam dan lingkungan demi menjaga kearifan lokal yang hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia. (*).